Segenggam Pasir di Tanah Letih…

ini aku (dok. mas arief tito)
Keep highly motivated to see the world

Rasanya, banyak sekali orang yang sukses di dunia ini. Nama mereka pun banyak tercatat dalam ingatan orang-orang. Salah satu yang mengingat itu tentu aku sendiri. Aku ingat nama Aristoteles, Yesus, Muhammad, Ibnu Sina, Isaac Newton, Alexander Graham Bell, Soekarno, hingga tokoh-tokoh kontemporer saat ini: Mark Zuckerberg, hingga Sandiaga Uno.

Mereka, dan masih banyak lagi, adalah orang-orang yang umumnya selalu meleka padanya satu frasa: orang sukses. Dengan capaiannya masing-masing, mereka memukau publik dengan gilang-gemilang usaha mereka yang berbuah manis. Bukan hanya itu, dari hasil itu semua, mereka menginspirasi dunia! Orang-orang menjadikan mereka kiblat jejak langkah setiap upaya-upaya. Namun, satu hal yang menjadi penting untuk dipelajari adalah: mereka sukses di bidangnya masing-masing. Sukses itu sesuai passion!

Lalu aku? Dari banyak tokoh yang ku-sajikan di depan, rasanya diri seperti debu di tengah angkasa raya. Bukan hanya tak berarti, tapi juga tak laku untuk jadi bahan pembicaraan. Tapi apakah sejatinya itu kesuksesan? Sebuah hasil pembandingan apa yang ku-capai dengan yang mereka capai?

Bumi Bung Karno
Baiklah, di depan, aku mengutip sebuah ungkapan yang hingga kini masih menempel kuat di benakku. Kira-kira itu artinya: tetaplah punya motivasi tinggi, kamu akan melihat dunia! Itu diucapkan oleh dosenku beberapa waktu lalu.

Dari ungkapan itulah, sebenarnya, aku ingin berbagi di sini. Apa yang ingin aku bagikan? Setidaknya, aku punya cerita menarik tentang kehidupanku sendiri. Aku pun punya motivasi dalam hidup ini yang dapat ku-bagikan. Sesungguh-sungguhnya, di tengah derasnya arus berita-berita bernada pesimisme, semoga ada sedikit berita baik dalam apa yang ku-sampaikan.

Sebuah kota kecil berjuluk Bumi Bung Karno menjadi tempat aku mulai menatap dunia. Ibu melahirkanku sebagai seorang anak laki-laki 20 tahun lalu. Tak ada yang istimewa dari keluargaku. Ayahku adalah seorang wirausahawan. Ia seorang tukang servis mesin jahit. Rendahan kedengarannya, memang. Tapi dengan itu, kami mandiri. Itu yang membuatku bangga padanya hingga kini. Ibuku sendiri adalah ibu rumah tangga. Seseorang yang menjadi manajer dalam keluarga kami. Dan saya sendiri lahir di kota kecil itu, Blitar namanya, sebagai seorang anak yang bernama Muhamad Rosyid Jazuli.

Sedikit perkenalan masa kecil itu semoga memberi gambaran bahwa bisa-jadi tak ada yang bisa aku sombongkan dari duniaku. Aku dibesarkan di suasana kesederhanaan keluarga. Bahkan, di kemudian hari, keluarga kami dikaruniai empat anak, dan aku-lah yang pertamanya. Aku akhirnya memiliki tiga adik. Inilah kehidupan keluargaku, enam orang yang selalu penuh semangat kemandirian mengarungi samudera kehidupan, menyongsongi setiap tantangan yang boleh-jadi tiap waktu datang.

Tabir masa
Tentunya setiap orang punya jalan hidup pendidikannya masing-masing. Aku pun demikian. Aku jalani waktu pendidikan sebagian besar di kotaku. Ketika aku lulus dari TK al-Hidayah, ku-lanjutkan proses belajar di SD Islam Sukorejo. Kemudian aku memilih SMP Negeri 2 Blitar untuk menempuh masa pendidikan menengah yang pertama. Cukup baik hasil yang aku capai saat itu: aku menjadi peraih NEM tertinggi se-SMP.

Pendidikan menengah aku lanjutkan dengan duduk di bangku SMA Negeri 1 Blitar. Lokasinya cukup jauh, hampir dua kali lipat jarak rumahku ke SMP. Aku hanya memiliki sepeda butut bekas yang dibelikan ayah ketika aku kelas 4 SD. Dan sepeda itulah yang terus membantuku sampai di tempatku belajar, tempatku menyemai benih masa depan.

Semangatku bersekolah sebenarnya tak bisa dikatakan terlalu tinggi. Makna pendidikan di daerahku bukanlah hal yang menarik untuk jadi pembahasan, kalah dari hiruk pikuk pemilukada atau juga bola dengan perebutan kelasemennya. Tapi kemudian seorang guru menyadarkanku: “Pendidikan itu adalah pembuka tabir kehidupan, tabir tentang masa depan juga masa ke belakang. Tanpa itu, kamu hanya akan jalan di tempat sambil tidak menyadari kalau zaman telah jauh berjalan, atau mungkin berlari…”

Ketika SMA, aku mulai bersentuhan dengan dunia organisasi. Ku-putuskan untuk bergabung dengan IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama). Ku-mulai karyaku di organisasi itu mulai dari ranting di kelurahan-ku, PR (Pengurus Ranting) IPNU Pakunden. Saat itu aku mejadi wakil ketua. Beberapa kali aku ikut serta dalam acara rutinan. Bagiku acara itu sederhana sekali: berkumpul, melingkar, duduk-duduk, bicara satu tema lalu entah arah selanjutnya ke mana. Akan tetapi, itulah basis persaudaraan yang nyata dan tentunya benar-benar menyatukan rasa kebersamaan antar-anggota.

Kalau boleh sedikit berbagi, IPNU ini merupakan organisasi yang bergerak untuk membangun benih-benih muda generasi bangsa yang punya akar di masyakarat. Kami di IPNU juga terus mengembangkan jangkauan sebaran moderasi dalam paham keagamaan, Islam, di kalangan anak muda. Kami tanamkan pada mereka untuk punya kebanggaan pada agama dan bangsa pada satu garis, satu visi dan satu mimpi: perdamaian dan kemanusiaan.

Satu periode berjalan, aku pindah ke pengurusan yang lebih tinggi tingkatannya, tingkat cabang (kota). Usai konfercab (Konferensi Cabang), aku ditempatkan di posisi bendahara. Aku sungguh menikmati masa-masaku saat itu. Sayang, belum lengkap satu periode berjalan, aku harus meninggalkan organisasi itu karena sesuatu. Aku, kebetulan, dapat beasiswa untuk melanjutkan studi sarjanaku di Jakarta.

Persimpangan
Di dalam SMA sendiri, aku pernah merasakan bagaimana menjadi pemimpin organisasi kesiswaan tertingggi. Aku pernah menjadi ketua OSIS. Banyak hal tentunya aku dapat ketika itu: pengalaman memimpin, mengelola, dan berdinamika di dalam organisasi. Sungguh pengalaman yang tidak akan pernah aku lupakan. Sebuah pengalaman yang menjadi titik balik kehidupanku saat itu.

Aku yang dahulunya kepalaku penuh sesak dengan rasa minder, berubah hampir seratus delapan puluh derajat menjadi pribadi yang cukup punya rasa percaya diri menghadapi kehidupan. Belajar untuk bernegosiasi dengan orang lain adalah momen yang bagiku paling membekas hingga kini. Dealing with others merupakan pelajaran paling berharga dalam organisasi. Dinamikanya seperti memasak matang-matang mental orang-orang yang terlibat di dalamnya, sejauh tidak menjadi free ride. Lagipula, secara historis, dari organisasi pula putra-putra bangsa negeri ini memulai perjuangannya menempuh jalan terjal menuju kemerdekaan.

Selepas SMA, kelanjutan studiku berada pada titik yang cukup gamang. Semangat untuk terus belajar rasa-rasanya tak ada surutnya. Lagipula, kalau aku berhasil kuliah, aku-lah anggota pertama keluargaku yang dapat mencicipi atmosfer perkuliahan. Harapanku tentu cukup besar, tapi nyatanya itu berbenturan dengan kenyataan bahwa kami tak punya kecukupan biaya untuk sekedar biaya masuknya saja. Mulailah aku berada pada persimpangan.

‘Kantong’ keluarga kami pun cukup perlu banyak pertimbangan untuk dirogoh koceknya hanya untuk sekedar ikut seleksi masuk. Sudahlah diketahui kalau sekarang, baik kampus negeri maupun tak negeri, sama saja mahalnya, bukan hanya saat kuliah, tetapi juga ketika calon mahasiswa akan mengikuti tes. Betapa ‘gila’-nya sebuah universitas negeri (tepatnya institusi teknik) saat itu sudah mematok harga formulir masuknya saja mencapai 400 ribu (bagi beberapa orang, angka ini mungkin ‘lumrah’, tapi bagi kebanyakan sudahlah tentu ini memberatkan; rasanya aku berani bersumpah demi apapun!).

Aku terus memutar otak. Tak mungkin momen bahwa keluargaku akan punya satu anggotanya yang dapat kuliah terlepas, empas begitu saja. Akhirnya aku dapat jawaban: beasiswa. Sekiranya hanya itu jalur yang mungkin (kemungkinannya pun masih dipertanyakan) untuk aku ikuti.

Aku mengorek informasi lewat dunia maya. Aku sering keluar-masuk warnet hanya untuk menjelajah, mengais kesempatan yang mungkin bisa aku coba raih. Ketika tak mendapatkan apa yang kucari, rasanya jalan-jalan yang menyimpang makin banyak dan makin membingungkan: mau apa sebenarnya aku ini?

Di tengah kegamangan itu, aku terus ingat kata-kata guruku: tanpa itu (pendidikan), kamu hanya akan jalan di tempat sambil tidak menyadari kalau zaman telah jauh berjalan, atau mungkin berlari… God! Aku tak mau tertinggal!

Jadilah kutemui beberapa kesempatan program beasiswa di beberapa kampus. Kutemukan sebuah nama yang boleh-jadi aneh waktu itu: Paramadina Fellowship. Itu adalah sebuah program beasiswa penuh untuk anak-anak negeri ini, untuk melanjutkan studinya di jenjang perkuliahan, di Universitas Paramadina (jujur saja, waktu itu nampaknya semua masih bergelayut keraguan, perihal diriku sendiri, juga pandanganku pada program tersebut).

Kupaksa diriku sendiri untuk lengkapi segala persyaratannya. Formulirnya yang belasan lembar rasanya memang memusingkan. Namun mau apalagi? Ku-minta dua guru paling visioner ku untuk memberikan surat rekomendasi. Salah satunya Tatik Sensei (Jepang: (Bu) guru Tatik), yang terus memberiku motivasi sebagaimana kusampaikan sebelumnya. Essai kubuat sesungguh-sungguhnya, sehati-hatinya (aku membuatnya memakai pensil dulu, lalu kutebali, setidaknya agar tak ada coretan).

Kawan, kini, aku telah berada di Jakarta, pusat atmosfer negeri ini. Aku berhasil dapatkan beasiswa Paramadina Fellowship seketika aku lulus dari SMA 2008 lalu. Sekarang aku kuliah di Universitas pemberi beasiswa itu, aku belajar di jurusan Manajemen. Hanya syukur kepada Tuhan yang bisa aku sampaikan. Beasiswa itu telah membiayai seluruh kebutuhan kuliahku. Biaya kuliah selama empat tahun, biaya buku pun, alhamdulillah, sudah menjadi tak menjadi beban pikiranku. Bahkan uang saku aku juga dapatkan. Yang paling penting tentu: janjiku akan adanya anggota keluargaku yang dapat kuliah terbayar!

Aku dapat kejutan lain di Jakarta. Karir organisasiku di IPNU ternyata juga masih berlanjut. Aku mendapat kesempatan untuk bergabung dengan kepengurusan Pimpinan Pusat (PP IPNU) untuk periode tiga tahun mendatang (2009-2012). Dengan ini pula, kesempatan untuk menebarkan ‘jalan-jalan moderasi keumatan’ pun menjadi lebih luas.

Sementara, aku juga berkesempatan menjadi duta bagi universitasku pada 2010 lalu. Layaknya duta pada umumnya, adalah tugasku menyampaian berita baik dari dan ke dalam universitas. Tapi tentunya, secara kultural, aku juga duta bagi organisasi tempatku bernaung, PP IPNU.

Segenggam pasir
Kukira apa yang kuraih selama ini bisa aku anggap sebuah prestasi. Tapi, tentulah tak perlu dibanggakan, sebab sudalahlah disadari masih banyak orang yang jauh memiliki prestasi di luar sana. Aku yakin kebanggaan diri dan kesombongan hanya menutup hati yang berujung pada ketinggian hati. Sebuah sikap yang sangat di benci masyarakat, hati nurani pun sebenarnya juga tak menyukainya sama sekali.

Just keep highly motivated, you will see the world, kata-kata ini masih kuat menempel di benakku. Tapi dari itu semua, sepertinya menarik untuk menilik pernyataan seorang bijak: Kesuksesan bukanlah hasil pembandingan antara capaian kita dengan capaian orang lain, tapi perbandingan antara capaian itu dengan apa yang menjadi rencana kita…

Capaianku ini hanya sekedar pasir barang segenggam untuk membangun peradaban. Membaginya, kukira akan lebih banyak cerita kesuksesan lain yang lebih menarik, berbobot, dan penuh motivasi. Genggaman pasirnya tentu akan makin banyak dan makin melimpah untuk modal membangun sebuah peradaban hidup yang gilang-gemilang.

Jakarta, kota yang letih, ini kini menjadi rumah sementaraku. Entah setelah ini mau kemana? Tapi semoga Tuhan tetap memberkahi jalanku, jalan kita semua yang tetap menggenggam mimpi untuk berbuat yang terbaik, bukan buat diri sendiri, tetapi untuk semuanya: keluarga, kawan, bangsa dan negara… (*)


Muhamad Rosyid Jazuli (Jazz Muhammad)


Selesai 29 Maret 201, di Perpustakaan kampus Paramadina
Sabtu, 16 April 2011
Posted by Unknown
Tag :

gallery


















Jumat, 25 Februari 2011
Posted by Unknown

Sejarah Blitar

SEJARAH KOTA BLITAR

logo Blitar zaman Hindia Belanda
Legenda
Seperti diketahui, menurut sejumlah buku sejarah, terutama buku Bale Latar, Blitar didirikan pada sekitar abad ke-15. Nilasuwarna atau Gusti Sudomo, anak dari Adipati Wilatika Tuban, adalah orang kepercayaan Kerajaan Majapahit, yang diyakini sebagai tokoh yang mbabat alas. Sesuai dengan sejarahnya, Blitar dahulu adalah hamparan hutan yang masih belum terjamah manusia. Nilasuwarna, ketika itu, mengemban tugas dari Majapahit untuk menumpas pasukan Tartar yang bersembunyi di dalam hutan selatan (Blitar dan sekitarnya). Sebab, bala tentara Tartar itu telah melakukan sejumlah pemberontakan yang dapat mengancam eksistensi Kerajaan Majapahit. Singkat cerita, Nilasuwarna pun telah berhasil menunaikan tugasnya dengan baik Bala pasukan Tartar yang bersembunyi di hutan selatan, dapat dikalahkan.

Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, oleh Majapahit, Nilasuwarna diberikan hadiah untuk mengelola hutan selatan, yakni medan perang yang dipergunakannya melawan bala tentara Tartar yang telah berhasil dia taklukkan. Lebih daripada itu, Nilasuwarna kemudian juga dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar I dengan daerah kekuasaan di hutan selatan. Kawasan hutan selatan inilah , yang dalam perjalanannya kemudian dinamakan oleh Adipati Ariyo Blitar I sebagai Balitar (Bali Tartar). Nama tersebut adalah sebagai tanda atau pangenget untuk mengenang keberhasilannya menaklukkan hutan tersebut. Sejak itu, Adipati Ariyo Blitar I mulai menjalankan kepemimpinan di bawah Kerajaan Majapahit dengan baik. Dia menikah dengan Gutri atau Dewi Rayung Wulan, dan dianugerahi anak Djoko Kandung. Namun, di tengah perjalanan kepemimpinan Ariyo Blitar I , terjadi sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh Ki Sengguruh Kinareja, yang tidak lain adalah Patih Kadipaten Blitar sendiri. Ki Sengguruh pun berhasil merebut kekuasaan dari tangan Adipati Ariyo Blitar I, yang dalam pertempuran dengan Sengguruh dikabarkan tewas. Selanjutnya Sengguruh memimpin Kadipaten Blitar dengan gelar Adipati Ariyo Blitar II. Selain itu, dia juga bermaksud menikahi Dewi Rayungwulan. Mengetahui bahwa ayah kandungnya (Adipati Ariyo Blitar I) dibunuh oleh Sengguruh atau Adipati Ariyo Blitar II maka Djoko Kandung pun membuat perhitungan. Dia kemudian melaksanakan pemberontakan atas Ariyo Blitar II, dan berhasil. Djoko Kandung kemudian dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar III. Namun sayangnya dalam sejarah tercatat bahwa Joko Kandung tidak pernah mau menerima tahta itu, kendati secara de facto dia tetap memimpin warga Kadipaten Blitar.

b) Masa Pra Kemerdekaan
Pada fase “kepemimpinan” Djoko Kandung, atau Adipati Ariyo Blitar III, pada sekitar tahun 1723 dan di bawah Kerajaan Kartasura Hadiningrat, pimpinan Raja Amangkurat , Blitar pun jatuh ke tangan penjajah Belanda. Karena, Raja Amangkurat menhadiahkan Blitar sebagai daerah kekuasaannya kepada Belanda yang dianggap telah berjasa karena membantu Amangkurat dalam perang saudara termasuk perang dengan Ariyo Blitar III, yang berupaya merebut kekuasaannya. Blitar pun kemudian beralih kedalam genggaman kekuasaan Belanda, yang sekaligus mengakhiri eksistensi Kadipaten Blitar sebagai daerah pradikan. Penjajahan di Blitar, berlangsung dalam suasana serba menyedihkan karena memakan banyak korban, baik nyawa maupun harta. Seperti daerah-daerah lainnya, rakyat Blitar pun tidak menghendaki mereka hidup dibawah ketiak bangsa Eropa yang menjajah kemerdekaan mereka. Rakyat Blitar kemudian bersatu padu dan bahu membahu melakukan berbagai bentuk perlawanan kepada Belanda, tidak hanya pribumi, tetapi juga didukung sepenuhnya oleh etnis Arab; Cina; dan beberapa bangsa Eropa lainnya yang mendiami Blitar.

Akhirnya, untuk meredam perlawanan rakyat Blitar, apalagi setelah diketahui bahwa beberapa bagian dari wilayah Blitar (tepatnya Kota Blitar), iklimnya sesuai untuk hunian bagi bangsa Belanda, maka pada tahun 1906, pemerintahan kolonial Belanda mengeluarkan sebuah Staatsblad van Nederlandche Indie Tahun 1906 Nomor 150 tanggal 1 April 1906, yang isinya adalah menetapkan pembentukan Gemeente Blitar . Momentum pembentukan Gemeente Blitar inilah yang kemudian dikukuhkan sebagai hari lahirnya Kota Blitar. Kepastian kebenarannya diperkuat oleh beberapa fakta antara lain dengan adanya Undang-undang yang menetapkan bahwa ibukota (Kabupaten) Blitar dikukuhkan sebagai Gemeente (Kotapraja) Blitar; Gemeente (Kotapraja) Blitar oleh pemerintah pusat kolonial Belanda setiap tahun diberikan subsidi sebesar 11,850 gulden. Gemeente (Kotapraja) Blitar dibebani kewajiban-kewajiban dan diberikan subsidi secara terinci; bagi Gemeente (Kotapraja) Blitar, diadakan suatu dewan yang dinamakan "Dewan Kotapraja Blitar" dengan jumlah anggota 13 orang; dan, undang-undang pembentukan Kotapraja Blitar itu mulai berlaku tanggal 1 April 1906. Pada tahun itu juga dibentuk beberapa kota lain di Indonesia yang berdasarkan catatan sejarah sebanyak 18 Kota yang meliputi kota Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Cheribon, Magelang Semarang, Salatiga, Madioen, Blitar, Malang, Surabaja dan Pasoeroean di Pulau Jawa serta lainnya di luar Jawa.

Dampak dari keluarnya undang-undang itu adalah, Kota Blitar menjadi kota pusat pengendalian perkebunan-perkebunan di wilayah sekitarnya, sehingga secara otomatis sudah berfungsi sebagai kota pelayanan sejak didirikan secara legal-formal tanggal 1 April 1906. Padahal, ketika itu, luas wilayah Kota Blitar “hanyalah” 6,5 km2, dengan jumlah penduduk sekitar 35.000 jiwa. Kemudian, pada tahun 1928, Kota Blitar pernah menjadi Kota Karisidenan dengan nama "Residen Blitar", dan berdasarkan Stb. Tahun 1928 Nomor 497 Gemeente Blitar ditetapkan kembali.

Bahkan, pada tahun 1930, Kotaparaja Blitar sudah memiliki lambang daerah sendiri. Lambang itu bergambar sebuah gunung dan Candi Penataran, dengan latar belakang gambar berwarna kuning kecoklatan di belakang gambar gunung –yang diyakini menggambarkan Gunung Kelud dan berwarna biru di belakang gambar Candi Penataran. Alasan yang mendasarinya adalah Blitar selama ini identik dengan Candi Penataran dan Gunung Kelud. Sehingga, tanpa melihat kondisi geografis, lambang Kotapraja Blitar pun mengikuti identitas itu. Sedangkan, makna dari pewarnaan itu, lebih-kurang adalah: adanya loyalitas yang luhur atau murni kepada kepemerintahan Hindia-Belanda. Namun, sejumlah produk hukum pemerintah kolonial Belanda itu, tidak menyurutkan rakyat Kota Blitar untuk membebaskan diri dari penjajahan. Sejumlah perlawanan-perlawanan untuk memerdekakan diri, terus berlangsung.

Hingga akhirnya, Jepang pun berhasil menduduki Kota Blitar, pada tahun 1942. Pada tahun itu pulalah, istilah Gementee Blitar berubah menjadi “Blitar Shi”, dengan luas wilayah 16,1 km2, dan berjumlah penduduk sekitar 45.000 jiwa. Perubahan status itu, diperkuat dengan produk hukum yang bernama Osamu Seerai. Di masa ini, penjajah Jepang menggunakan isu sebagai saudara tua bangsa Indonesia, Kota Blitar pun masih belum berhenti dari pergolakan. Bukti yang paling hebat, adalah pemberontakan PETA Blitar, yang dipimpin Soedancho Suprijadi.

Pemberontakan yang terjadi pada tanggal 14 Februari 1945 itu, merupakan perlawanan yang paling dahsyat atas kependudukan Jepang di Indonesia yang dipicu dari rasa empati serta kepedulian para tentara PETA atas siksaan –baik lahir maupun batin- yang dialami rakyat Indonesia oleh penjajah Jepang. Konon, kabarnya, menurut Cindy Adams di dalam otobiografi Bung Karno, pada tanggal 14 Februari 1945 itu pula, Soeprijadi dan kawan-kawan sebelum melakukan pemberontakan, sempat berdiskusi tentang rencana pemberontakan ini, dengan Ir. Soekarno, yang ketika itu tengah berkunjung ke Ndalem Gebang. Namun, Soekarno, ketika itu, tidak memberikan dukungan secara nyata, karena, Soekarno beranggapan, lebih penting untuk mempertahankan eksistensi pasukan PETA sebagai salah satu komponen penting perjuangan memperebutkan kemerdekaan. Di luar pemberontakan yang fenomenal itu, untuk kali pertamanya di bumi pertiwi ini Sang Saka Merah Putih berkibar. Adalah Partohardjono, salah seorang anggota pasukan Suprijadi, yang mengibarkan Sang Merah Putih di tiang bendera yang berada di seberang asrama PETA. Kini, tiang bendera itu berada di dalam kompleks TMP Raden Widjaya, yang dikenal pula sebagai Monumen Potlot.

Pemberontakan PETA ini, walaupun dari sisi kejadiannya terlihat kurang efektif karena hanya berlangsung dalam beberapa jam dan mengakibatkan tertangkapnya hampir seluruh anggota pasukan PETA yang memberontak, kecuali Suprijadi, namun dari sisi dampak yang ditimbulkan, peristiwa ini telah mampu membuka mata dunia. Cikal bakal pemim pin Republik ini ternyata telah dipersiapkan, dan pemberontakan PETA telah menggoreskan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia karena peristiwa tersebut merupakan satu-satunya pemberontakan yang dilakukan oleh tentara didikan Jepang. Bahkan, pemberontakan ini boleh dikata sebagai satu-satunya fenomena anak didik Jepang yang berani melawan tuannya diseluruh kawasan asia tenggara dan asia timur yang dijajah pemerintah kolonial Jepang.
Beberapa saat setelah pemberontakan PETA Blitar, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno – Hata memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Rakyat Kota Blitar pun menyambutnya dengan gembira. Sebab, hal inilah yang ditunggu-tunggu dan justru itulah yang sebetulnya menjadi cita-cita perjuangan warga Kota Blitar selama ini. Karena itu, rakyat Kota Blitar segera mengikrarkan diri berada di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Sebagai bukti keabsahan keberadaan Kota Blitar dalam Republik Indonesia, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1945 tentang perubahan nama “Blitar Shi” menjadi "Kota Blitar", dengan luas wilayah 16,1 km2, dan dihuni oleh 45.000 jiwa.

c). Masa Kemerdekaan
Kemudian, pada tahun 1950, berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 1950, Kota Blitar berubah statusnya menjadi Blitar dan dibentuk sebagai Daerah Kota Kecil. Selanjutnya, berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, status Kota Blitar berubah menjadi Kotapraja Blitar, dengan luas wilayah tetap dan jumlah penduduknya menjadi 60.000 jiwa. Dan, berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965, Kotapraja Blitar pun ditetapkan menjadi “Kotamadya Blitar”, dengan luas wilayah tetap dan didiami oleh 73.143 jiwa.
Di masa pasca-kemerdekaan hingga dijatuhkannya Ir. Soekarno sebagai Presiden RI pertama, Kota Blitar juga terkena dampak eskalasi politik di masa itu. Kesejahteraan yang diidam-idamkan rakyat Kota Blitar, pasca proklamasi, ternyata belum terwujud. Bahkan, karena Bung Karno dimakamkan di Kota Blitar, maka terjadilah “pengucilan” secara politik melalui pembatasan yang sangat ketat terhadap warga bangsa yang akan datang ke Blitar untuk nyekar ke makam Bung Karno. Pada periode ini, kota Blitar yang menyimpan berbagai sumberdaya yang sangat besar seakan-akan tertidur lelap. Api nasionalisme dan kecintaan terhadap sang Proklamator berusaha untuk dilenyapkan, tetapi yang terjadi justru arus balik yang sangat kuat melanda sebagian besar warga bangsa yang cinta terhadap sosok pemersatu bangsa ini. Dan, berlakulah ungkapan bahwa harum semerbaknya bunga melati tidak bisa ditutupi dan dikucilkan tetapi justru harumnya akan semakin semerbak dan melekat di dasar hati sanubarinya rakyat Indonesia.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, walaupun pembangunan Kota Blitar telah berjalan dengan baik, tetapi belum menunjukkan hasil yang menggembirakan karena sistem pemerintahan masih menggunakan sistem sentralisasi dengan pendekatan top-down yang menyebabkan “terpasungnya” daya kreativitas dan inovasi rakyat. Meskipun demikian, ada pula sisi yang menyentuh kita semua yakni kecintaan yang tidak pernah luntur dari warga bangsa terhadap sosok Bung Karno. Hal inilah yang secara tanpa disadari telah menempatkan Kota Blitar nantinya sebagai daerah yang paling ramai dikunjungi rakyat Indonesia, terutama pada bulan Juni. Kota Blitar, menjadikan bulan Juni sebagai Bulan Bung Karno karena dibulan inilah terangkai berbagai momentum penting sejarah bangsa terutama yang terkait dengan Bung Karno yakni ; (1) Tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Pada tanggal ini, rakyat Kota Blitar memperingatinya dengan upacara Grebeg Pancasila, (2) Tanggal 6 Juni sebagai hari lahir Bung Karno dan (3) Tanggal 20 Juni tahun 1970 adalah hari wafatnya Bung Karno yang di makamkan di Kelurahan Bendogerit, Kecamatan Sanan Wetan.

Kawasan wisata Makam Bung Karno yang dulunya hanya seluas 2970 m, dan sekarang telah diperluas menjadi 4852 m, semula adalah milik Yayasan Mardi Mulyo yang diserahkan kepada negara untuk dijadikan Taman Makam Pahlawan Karang Mulyo. Sementara itu, telah lama ada rencana pemerintah untuk membangun Taman Makan Pahlawan yang baru di Kota Blitar, sebagai pengganti Taman Makam Pahlawan Karang Mulyo ini. Demikianlah, sewaktu ada niat dan rencana untuk memugar Makam Bung Karno, pembangunan Taman Makam Pahlawan Kota Blitar yang baru, yakni Taman Makam Pahlawan R. Wijaya, telah selesai dan seluruh kerangka pahlawan yang semula berada di Taman Makam Pahlawan Karang Mulyo telah dipindahkan ke dalamnya. Pada saat itulah makam Bung Karno dipindahkan kelokasi yang ada sekarang, didampingi pada kiri-kanannya Makam Ayahanda, R. Soekeni Sosrodihardjo dan Makam Ibunda, Ida Aju Nyoman Rai. Sekarang, kawasan makam Bung Karno dimaksud telah dilengkapi dengan perpustakaan dan museum Bung Karno, sehingga semakin mengukuhkan perkembangannya sebagai ikon pariwisata religius dan wisata sejarah kota Blitar.

Di masa pemerintahan Orde Baru, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1982, luas wilayah Kotamadya Blitar dimekarkan dari yang semula hanya 1 Kecamatan dengan luas 16,1 km2, menjadi 3 (tiga) kecamatan dan 20 kelurahan dengan luas keseluruhan menjadi 32,369 km2, Jumlah penduduk Kota Blitar ketika itu telah mencapai 106.500 jiwa. Sejarah pun kembali bergulir. Pemerintahan Orde baru dibawah pimpinan Soeharto, dipaksa turun melalui serangkaian drama politik yang “panas”. Indonesia memasuki masa baru yang sering disebut dengan Orde Reformasi. Di era ini, tepatnya pada tahun 1999, dtetapkan sebuah Undang-undang yang sangat fenomental, yakni Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Melalui Undang-undang tersebut, sebutan Kotamadya Blitar disesuaikan menjadi Kota Blitar. Hingga menjelang satu abad usia kota ini, Kota Blitar dihuni oleh sekitar 125 ribu jiwa.
Rangkaian sejarah yang terjadi di Kota Blitar apabila diruntut secara satu persatu sejak dari awal kelahirannya hingga memasuki usia satu abad ini, ternyata didalamnya memiliki benang merah yang merangkai dengan sangat kuat satu momentum sejarah dengan momentum lainnya sehingga mempetegas kenyataan bahwa posisi dan keberadaan Kota Blitar sejak dahulu hingga sekarang sangat diperhitungkan di kancah regional; nasional maupun internasional. Hal demikian tentu tidak terlepas dari keberadaan tokoh-tokoh sejarah sekaliber Ariyo Blitar, Suprijadi dan Bung Karno yang sepanjang hidupnya tiada pernah berhenti memompakan semangat kejuangan, nasionalisme dan semangat patriotisme yang sesungguhnya.

Sejarah Pemerintahan

Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran Team Hari Jadi Kotamadya Daerah Tingkat II Blitar yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Blitar Nomor 262 tahun 1988 tertanggal 31 Desember 1988, maka berdasarkan dokumen dan testament yang ada, dapatlah diketahui bahwa penetapan Hari Jadi Kota Blitar adalah sebagai berikut:
Gemeente Blitar dibentuk berdasarkan “Staatsblad van Nederlandsche Indie” tahun 1906 Nomor 150 tertangga 1 April 1906;
Jadi tanggal 1 April 1906, merupakan penetapan berdirinya Gemeente Blitar yang dapat dipastikan kebenarannya, bahwa:
Wilayah ibukota (Kabupaten) Blitar, lewat Undang-undang diputuskan menjadi Gemeente (Kotapraja) Blitar ;
Gemeente Kotapraja) Blitar, oleh pemerintah pusat setiap tahun diberikan subsidi sebesar 11,850 golden ;
Gemeente Kotapraja) Blitar, dibebani kewajiban-kewajiban dan diberikan wewenang secara terinci;
Bagi Gemeente (Kotapraja) Blitar, diadakan suatu dewan yang dinamakan “Dewan Kotapraja Blitar” dengan jumlah anggota 13 orang ;
Undang-undang pembentukan Kotapraja Blitar mulai berlaku tanggal 1 April 1906.
Jika memperhatikan pertembuhan dan perkembangan, maka selama perjalanan pemerintahan 95 tahun ini (1 April 1906 – 1 April 2001) mengalami perubahan status pemerintahan sebagai berikut :
Kota Blitar pertama dibentuk berdasarkan Stbld tahun 1906 nomor 150 jo, Stbld 497 tahun 1928 dengan nama Gemeente Blitar dengan luas wilayah 6,5 Km2 dan jumlah penduduk 35.000 jiwa ;
Dalam tahun 1928 Kota Blitar pernah menjadi Kota Karesidenan dengan nama “Residensi Blitar: dan berdasarkan Stbld nomor 497 tahun 1928 penetapan kembali Gemeente Blitar ;
Pada jaman Jepang tahun 1942 berdasarkan Osomu Seerai dengan nama “Blitar-Shi” dengan luas wilayah 16,1 Km2 dan jumlah penduduk 45.000 jiwa ;
Sejak kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 berdasarkan Undang-undang nomor 22 tahun 1945 dengan nama “Kota Blitar” luas wilayah 16,1 Km2 dan jumlah penduduk 45.000 jiwa ;
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang nomor 17 tahun 1950 dengan nama Blitar dibentuk sebagai daerah Kota Kecil ;
Berdasarkan Undang-undang nomor 1 tahun 1957 dengan nama Kotapraja Blitar, luas wilayah 16,1 Km2 dan jumlah penduduk 60.000 jiwa ;
Berdasarkan Undang-undang Nomor 18 tahun 1965 ditetapkan dengan nama “Kotamadya Blitar” dengan luas wilayah 16,1 Km2 dan jumlah penduduk 73.142 jiwa;
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1982, luas wilayah Kotamadya Blitar dimekarkan menjadi 3 (tiga) kecamatan dengan 20 kelurahan.
Luas daerah : lama (1 kecamatan = 16,1 Km2) baru (3 kecamatan = 32,369 Km2)
Jumlah penduduk tahun 1982 = 106.500 jiwa
Jumlah penduduk sampai dengan tahun 2003 adalah 124.767 jiwa
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 nama Kotamadya Blitar disesuaikan dan diganti dengan nama Kota Blitar hingga sekarang.
Pejabat Pemerintahan
Nama-nama pejabat, Walikota, Kepala Dearah Kota Blitar
Jaman Pemerintahan Hidia Belanda
Th. J. Cathero : Jabatan : Asisten Residen Kediri di Blitar yang merangkap de burgermester di Blitar s/d tahun 1942.
Th. J. Boerstra : Jabatan : Asisten Residen Kediri di Blitar
Jaman Pemerintah Jepang
Drajat Prawiro Soebroto : Jabatan : Shi-tjok Blitar tahun 1942-1943
Soedrajat : Jabatan: Shi-tjok Blitar tahun 1943-1944
Mochtar Prabu Mangkunegoro : Jabatan : Shi-tjok Blitar tahun 1944-1945
Jaman Kemerdekaan s.d Sekarang
Soerono Harsono : Jabatan : Walikota Blitar tahun 1945-1947
Soenarjo Adiprodjo : Jabatan : Walikota Blitar tahun 1947-1948
Soenarjo : Jabatan : Walikota Blitar tahun 1948
Soetadji : Jabatan : Walikota Blitar tahun 1949-1950
R. Ismaoen Danoe Soesastro : Jabatan : Walikota Blitar tahun 1953-1956
Soeparngadi : Jabatan : Walikota Blitar tahun 1956-1960
R. Koesmadi : Jabatan : Walikota Kepala Daerah tahun 1960-1964 Daerah Kota Blitar
Rm. Prawiro Fakhihudin : Jabatan : Walikotamadya tahun 1968; Kdh. Tk. II Blitar
Drs. Soerjadi : Jabatan : Walikotamadya tahun 1969-1975; Kdh. Tk. II Blitar
Drs. Soekirman :Jabatan : Walikotamadya tahun 1975-1980 dan tahun 1980-1985 (2 periode)
Drs. Haryono Koesoemo : Jabatan : Walikotamadya tahun 1985-1990; Kdh. Tk. II Blitar
Drs. H. Achmad Boedi Soesetyo : Jabatan; Kdh. Tk. II Blitar
H. Istijono Soenarto, SH :Jabatan : Walikota Blitar tahun 1995-2000; Kdh. Tk. II Blitar
Drs. H. Djarot Saiful Hidayat, MS.
Jabatan : Walikota Blitar tahun 2000-2005.
Bapak Drs. H. Djarot Saiful Hidayat, MS.
Jabatan : Walikota Blitar tahun 2006-2010.
Posted by Unknown

Popular Post

Blogger templates

Labels

- Copyright © Visit Blitar -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -